Sesungguhnya banyak anak merupakan perkara yang dituntut oleh syari’at. Dan disyariatkannya nikah adalah untuk menjaga diri dari perbuatan zina dan untuk memperbanyak keturunan. [Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah XIX/298 no 3205]
عن مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ “إِنِّي أَصَبْتُ امرأةً ذاتَ حَسَبِ وجمالِ وإنها لا تَلِدُ أَفَأَتَزَوَّجُهَا؟”، قال: “لا”. ثم أتاه الثانية فنهاه ثم أتاه الثالثة فقال: “تََزَوَجُوْا الوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ
Dari Ma’qil bin Yasar berkata, “Datang seorang pria kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dan berkata, “Aku menemukan seorang wanita yang cantik dan memiliki martabat tinggi namun ia mandul apakah aku menikahinya?”, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam menjawab, “Jangan !”, kemudian pria itu datang menemui Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam kedua kalinya dan Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam tetap melarangnya, kemudian ia menemui Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam yang ketiga kalinya maka Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Nikahilah wanita yang sangat penyayang dan yang mudah beranak banyak karena aku akan berbangga dengan kalian dihadapan umat-umat yang lain” [HR Abu Dawud 2/220 no 2050 dan ini adalah lafalnya, Ibnu Hibban 9/363,364, An-Nasaai 6/65, berkata Syaikh Al-Albani , “Hasan Shahih”]
عن أنس بن مالك قال كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُ بِالبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيْدًا وَيَقُوْلُ تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّي مُكَاثِرُ الْأَنْبِيَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Anas bin Malik berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras untuk membujang dan berkata, “Nikahilah wanita yang sangat penyayang dan yang mudah beranak banyak karena aku akan berbangga dengan kalian dihadapan para nabi pada hari kiamat ”[1]
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, ((Sesungguhnya banyaknya umat merupakan kejayaan bagi umat tersebut. Waspadalah kalian terhadap perkataan para sekularisme yang berkata, “Banyaknya umat mengakibatkan kemiskinan dan pengangguran”. Bahkan jumlah yang banyak merupakan kemuliaan yang Allah karuniakan kepada bani Israil sebagaimana dalam firmanNya,
وَجَعَلْنَاكُمْ أَكْثَرَ نَفِيراً
Dan Kami jadikan kelompok yang lebih besar. (QS. 17:6)
Dan nabi Syu’aib mengingatkan kaumnya dengan karunia ini, beliau berkata
وَاذْكُرُواْ إِذْ كُنتُمْ قَلِيلاً فَكَثَّرَكُمْ
Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu. (QS. 7:86)
Maka banyaknya umat merupakan kejayaan, terutama jika bumi tempat mereka tinggal subur dan penuh dengan kekayaan alam yang bisa dimanfaatkan untuk perindustrian. Banyaknya penduduk sama sekali bukanlah merupakan sebab kemiskinan dan pengangguran.
Namun yang sangat disayangkan sebagian orang sengaja memilih wanita yang mandul, wanita yang seperti ini lebih disukai oleh mereka daripada wanita yang subur. Mereka berusaha agar istri-istri mereka tidak melahirkan kecuali setelah empat atau lima tahun setelah pernikahan, dan yang semisalnya. Ini merupakan kesalahan karena hal ini menyelisihi tujuan Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam. Terkadang mereka berkata, “Jika engkau merawat anak yang banyak maka engkau akan kesulitan”, maka kita katakan, “Jika kalian berprasangka baik kepada Allah maka Allah akan menolong kalian”.
Mereka juga terkadang berkata, “Harta milik kami hanya sedikit”, maka kita katakan kepada mereka,
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا
Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya (QS. 11:6)
Dan terkadang seseorang melihat bahwa rezekinya dilapangkan jika ia memperoleh seorang anak. Seorang pedagang yang aku percayai pernah berkata, “Semenjak aku menikah Allah membukakan pintu rezeki bagiku. Tatkala aku kelahiran anakku si fulan maka dibukakan bagiku pintu rezeki yang lain”. Dan ini jelas diketahui bersama karena Allah berfirman
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا
Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya (QS. 11:6)
Allah juga berfirman
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلاَدَكُم مِّنْ إمْلاَقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ (الأنعام : 151 )
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka (QS. 6:151)
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُم إنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْءاً كَبِيراً (الإسراء : 31 )
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. (QS. 17:31)
Allah juga berfirman
إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ
Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. (QS. 24:32)
Intinya bahwasanya pernyataan bahwa banyaknya anak merupakan sebab kemiskinan merupkan pernyataan yang keliru…)) [Asy-Syarhul Mumti’ XII/18]
Berikut ini beberapa perkara yang berkaitan dengan permasalahan ini
– Membatasi kelahiran anak –tanpa ada kondisi darurat- hukumnya adalah haram karena bertentangan dengan tujuan syari’at dan tujuan nikah yaitu untuk menjaga diri dan memperbanyak keturunan, serta menunjukkan sikap berburuk sangka kepada Allah yang luas rizki-Nya bagi orang yang membatasi kelahiran karena takut miskin. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah XIX/298 no 3205)
– Ada perbedaan antara membatasi kelahiran dengan mengatur angka kelahiran. Membatasi angka kelahiran maksudnya adalah memberhentikan kelahiran hingga pada jumlah tertentu. Misalnya hingga dua anak cukup, atau tiga, atau lima, dengan alasan untuk menjaga ekonomi keluarga atau karena benci dengan jumlah anak yang banyak. Adapun pengaturan angka kelahiran melakukan sebuah amalan (misalnya mengkonsumsi obat anti hamil) dalam rangka menunda kehamilan hingga waktu tertentu hingga sang wanita kembali kekuatannya dan semangatnya kemudian kembali hamil dan meninggalkan penggunaan obat anti hamil. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah XIX/299 no 5040)
Dalil-dalil akan bolehnya pengaturan kelahiran karena ada kebutuhan diantaranya:
Dahulu para sahabat radhiyallahu ‘anhum mereka malakukan ‘azal di zaman Nabi. Dan tidak diragukan lagi bahwa ‘azal biasanya mencegah kehamilan (Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/18).
Firman Allah
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. 22:78)
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
Tidak boleh menimbulkan bahaya (pada diri sendiri) dan tidak boleh membahayakan (orang lain)
(Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah XIX/294 no 443)
– Pengaturan kelahiran diperbolehkan jika karena kebutuhan seperti seorang wanita yang proses melahirkannya tidak normal sehingga harus melakukan operasi untuk mengeluarkan sang anak, atau karena ada kemaslahatan tertentu yang dipandang oleh kedua pasangan. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah XIX/307). Demikian juga misalnya karena kondisi tubuh sang wanita yang kurang sehat atau kurus misalnya sehingga dikhawatirkan akan sakit jika sering melahirkan maka tidak mengapa. Adapun mengkonsumsi obat anti hamil dengan niat agar tubuh sang wanita tetap cantik maka hal ini tidak diperbolehkan. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah XIX/293 no 443)
– Boleh bagi seorang wanita mengkonsumsi obat anti hamil pada masa menyusui anaknya dikarenakan kawatir ada bahaya yang menimpa sang anak atau sang wanita itu sendiri (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah XIX/321 no 3843)
– Adapun menggunakan obat anti hamil dengan alasan untuk mendidik anak maka ini tidak diperbolehkan (Fatwa Syaikh Bin Baaz dalam Majmu’ fataawa wa maqoolaat mutanawwi’ah XXI/193)
Al-Lajnah Ad-Daimah ditanya, “Seorang lelaki memiliki delapan anak dari dua orang istri dan dia semangat untuk mendidik anak-anaknya sesuai dengan pendidikan Islami. Dia berkata, “Sesungguhnya keburukan yang banyak timbul di zaman ini menjadikan seseorang benar-benar berjihad dalam mendidik anak-anak, dan butuh memiliki kesabaran yang tinggi”. Apakah boleh penggunaan obat anti hamil atau yang lainnya untuk memberhentikan proses kehamilan dalam jangka waktu tertentu, atau tidak boleh?”
Maka Al-Lajnah Ad-Daimah menjawab, “Masa depan adalah perkara yang gaib dan tidak ada yang mengetahui yang gaib melainkan Allah. Seseorang tidak tahu manakah dari anak-anaknya yang baik. Apakah anak-anaknya yang ia telah berusaha mendidiknya dengan baik ataukah anak-anaknya yang akan dikaruniai oleh Allah setelah itu baik putra maupun putri??. Maka wajib bagi seorang muslim untuk bertawakal kepada Allah dan menyerahkan segara urusannya kepada Allah dan janganlah dia dan istrinya mengkonsumsi sesuatu yang mencegah kehamilan seperti suntikan atau pil atau minuman tertentu dan yang semisalnya. Bisa jadi Allah menganugerahkan kepadanya di masa mendatang anak-anak yang menyebabkan ia mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dan bisa jadi Allah melapangkan rizkinya karena tawakalnya kepada-Nya. Bisa jadi Allah menganugerahkan kepadanya anak-anak (di masa mendatang) yang seluruhnya memberi manfaat kepadanya baik di dunia maupun di akhirat serta Allah menjaga mereka dari fitnah dan kejelekan-kejelekan para hamba…”. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah XIX/301 no 2114)
– Disyaratkan obat anti hamil yang dikonsumsi oleh sang wanita tidak membahayakan semisal bahaya yang ingin dihindari. Karena bahaya tidak boleh ditolak dengan bahaya yang semisalnya. Penggunaan sebagian obat-obat anti hamil bisa mengakibatkan tidak teraturnya waktu haidh, atau merusak rahim, atau timbul tekanan dalam darah, atau bahaya-bahaya yang lainnya. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah XIX/294 no 443)
– Sang wanita yang menggunakan obat anti hamil karena kebutuhan harus meminta idzin kepada suaminya. Dan jika memang kebutuhannya sesuai dengan syari’at maka wajib bagi sang suami untuk mengidzinkannya. Adapun jika kebutuhan tersebut tidak sesuai dengan syari’at maka wajib bagi sang suami untuk tidak mengidzinkannya. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah XIX/295 no 443)
Renungan penutup……
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, “Hendaknya seseorang tatkala bermuamalah dengan baik terhadap istrinya tidak hanya mengharapkan kebahagiaan di dunia saja berupa ketenangan dan kenikmatan. Akan tetapi hendaknya ia juga berniat untuk beribadah kepada Allah dengan menunaikan kewajiban-kewajibannya. Hal ini sering dilalaikan oleh kita. Banyak orang yang bersikap baik terhadap istrinya namun niatnya hanya untuk menjaga keharmonisan kehidupan rumah tangganya dengan sebaik mungkin namun mereka lupa untuk meniatkan amal mereka itu untuk beribadah kepada Allah. Ini sering dilupakan…dan syaitan berperan untuk menjadikan mereka lupa akan hal ini. Oleh karena itu hendaknya tatkala engkau bersikap baik terhadap istrimu hendaknya engkau berniat bahwasanya engkau sedang menjalankan perintah Allah
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (النساء : 19 )
Dan pergaullah mereka dengan baik. (QS. 4:19)”[Asy-Syarhul Mumti’ XII/383]
الْحَمْدُ للهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
وَصَلَى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ
Selesai di tulis di kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Ahad 22 Februari 2006 M
Selesai muroja’ah kembali 4 April 2006 M
www.firanda.com
Daftar Pustaka
1. Shahih Al-Bukhori, tahqiq DR Mushthofa Dib Al-Bagho, terbitan Dar Ibni Katsir
2. Shahih Muslim, tahqiq Muhammad Fu’ad Abdil Baqi, terbitan Dar Ihya At-Turots Al-‘Arobi
3. Sunan Abu Dawud, tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdilhamid, terbitan Darul Fikr
4. Sunan At-Thirmidzi, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir dan yang lainnya, Dar Ihya’ At-Turots, Beiruut
5. Sunan Ibnu Majah, tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baaqi, Darul Fikr
6. Al-Ihsan fi taqriib Shahih Ibnu Hibban, karya al-Amin ‘Ala-uddin al-Farisi, tahqiq Syu’aib al-Arna-uth, cetakan kedua, Mu-assasah ar-Risalah.
7. Al-Mustadrak ‘alas Shahihain, karya Abu ‘Abdillah al-Hakim an-Naisabuuri, tahqiq Musthafa ‘Abdul Qadir ‘Atha’, cetakan pertama, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah.
8. Musnad Imam Ahmad, terbitan Maimaniah
9. Silsilah al-Ahadits as-Shahihah, Syaikh al-Abani, Maktabatul Ma’arif.
10. Tafsir At-Thabari, Muhammad bin Jarir at-Thabari, Darul Fikr.
11. Tafsir Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhmmad bin Abdillah Al-Anshori Al-Qurthubi, Dar As-Sya’b, Al-Qohiroh
Ruuhul M’aani, Abul Fadhl Al-Aluusii, Dar Ihyaa’ At-Tuorts Al-‘Arobi
Ad-Dur Al-Mantsur, Jalaluddin As-Suyuthi, Darul Fikr
Al-Kasysyaaf, karya Az-Zamkhsyari Al-Mu’tazili, tahqiq Abdurrozaq Al-Mahdi, Darul Ihyaa’ At-Turots Al-‘Arobi
At-Tafsiir Al-Kabiir, Fakhruddiin Ar-Roozi, cetakan pertama Darl Kutub Al-‘Ilmiyyah
Zaadul Masiir, karya Ibnul Jauzi, Al-Maktab Al-Islami, cetakan ketiga
Al-Muharror Al-Wajiiz fi Tafsiir Al-Kitab Al-‘Aziz, Abdul Haq Al-Andalusi, tahqiq Abdus Salam Abdus Syafi Muhammad, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah cetakan pertama
Tafsir Ibnu Katsir, Darul Fikr
Tafsir Al-Baghowi, tahqiq Kholid bin Abdurrahman Al-‘Ak, Darul Ma’rifah
20. Taisir Al-Karimir Rohman, Syaikh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di, cetakan pertama, Muassasah Ar-Risalah
21. Adlwaa’ul Bayaan, Syaikh Muhammad Al-Amiin Asy-Syingqithy, tahqiq Maktab Al-Buhuts wad Dirosaat, Darul Fikr
Ahkamul Qur’an, Abu Bakar Ibnul ‘Arobi, tahqiq Muhammad Abdul Qodir ‘Atoo, Darul Fikr
23. Fat-hul Bari, Ibnu Hajar, tahqiq Muhibbuddin Khathib, Darul Ma’rifah.
24. ‘Umdatul Qori, karya Badruddin Muhammad bin Ahmad al-‘Aini (855 H), Daar Ihyaa’ at-Turats.
25. Al-Minhaj syarh shahih Muslim, An-Nawawi, cetakan kedua, Dar Ihya’ At-Turots
26. ‘Aunul Ma’bud, Syamsul Haqq al-Azhim Abadi, Darul Fikr.
Tuhfatul Ahwadzi, Al-Mubarokfuri, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi
Nailul Author, karya As-Syaukani, Darul Jil Beiruth
29. Faidhul Qodiir, Abdurro’uuf Al-Munaawii, cetakan pertama Maktabah Tijaariyah (Mesir)
Syarh Az-Zarqooni ‘Ala Muwattho’ Al-Imam Malik,, Muhammad bin Abdul Baaqi bin Yusuf Az-Zarqoni, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, cetakan pertama
Mirqootul Mafatiih syarh Misykaatul Mashobiih, Ali bin Sulthoon Muhmaad Al-Qoori, tahqiq Jamal ‘Iitaani, cetakan pertama, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah
Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, Abdullah bin Abdirrahman Ali Bassaam, cetakan kedua
Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, Darul Fikr, cetakan pertama
Bada’i As-Shona’i, ‘Alauddin Al-Kisaai, Darul Kitab Al-‘Arobi, cetakan kedua
Al-Umm, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Darl Ma’rifah cetakan kedua
Kifaayatul Akhyaar, Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini Asy-Syafi’i, tahqiq Ali Abdul Hamid Baltaji, Darul Khoir cetakan pertama
Masyariqol Anwaar, Al-Qodhi ‘Iyaadh, Maktabah Al-‘Atiqoh
As-Siroh An-Nabawiah As-Shahihah, Doktor Akrom Dhiyaa’ Al-‘Umari, cetakan ke-5, Maktabah Al-‘Ubaikan
Al-Mau’idzoh Al-Hasanah fi Al-Akhlaq Al-Hasanah, Abdulmalik bin Ahmad Romadhoni
Al-Qoul Mufiid, Syaikh Ibnu Utsaimin
Adabuz Zifaaf, Syaikh Al-Albani
42. Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah, tahqiq ‘Amirul Al-Jazzaar dan Anwaarul Baaz, Darul Wafa’ (dengan ihaalah kepada cetakan lama mu’tamad).
43. Zadul Ma’ad fi Hady Khairil ‘Ibad, Ibnul Qayyim, tahqiq Syu’aib Al-Arnauth, cetakan ke-14, Mu-assasah ar-Risalah.
44. Al-Asaaliib Al-Mustambathoh min ta’aamul Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam ma’a Zaujaatihi wa Atsaaruha At-Tarbawiyah, Husain bin ‘Ali bin Maani’ Al-‘Umari, risalah ilmiah S2
45. Al-Asaaliib An-Nabawiyah fi Mu’aalajati Al-Musykilaat Az-Zaujiyah, DR Abdus Samii’ Al-Aniis, cetakan pertama, Dar Ibnul Jauzi
46. Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah lil buhuts Al-‘Ilmiyah wal ifta’. Disusun oleh Ahmad bin Abdurrozaaq Ad-Duwaisy, cetakan Riasah Idarotil buhuts Al-‘Ilmiyah wal Ifta’
47. Majmu’ fatwa wa maqoolaat mutanawwi’ah, Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, disusun oleh DR Muhammad Sa’ad Asy-Syuwai’ir, cetakan Riasah Idarotil buhuts Al-‘Ilmiyah wal Ifta’
48. Majallah Al-Ashoolah no 46, terbitan Markaz Al-Imam Al-Albani
49. Ceramah Syaikh Ibnu Utsaimin (Syarh Bulughul Maram, kitab An-Nikaah)
50. Ceramah Syaikh Sholeh Fauzan Ali Fauzan (Syarh Bulughul Maram, kitab An-Nikaah)
51. Ceramah Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad (Syarh Sunan Abu Dawud)
52. Ceramah Syaikh Sulthon Al-‘Uwayyid yang berjudul Risalah ila Az-Zaujain
53. Ceramah Syaikh Muhammad Mukhtaar As-Syinqithi yang berjudul Fiqhul Usroh
54. Ceramah Syaikh Abu Ishaaq Al-Huwaini yang berjudul “Lailah fi bait An-Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”
55. Lisaanul ‘Arob, Ibnu Manzhur, cetakan pertama, Dar Shodir
[1] HR Ibnu Hibban 9/338. Berkata Ibnu Hajar, “Adapun hadits “Sesungguhnya aku berbangga dengan kalian” maka hadits tersebut shahih dari hadits Anas…dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dan disebutkan oleh Imam As-Syafi’i secara بلاغا (balagan) dari hadits Ibnu Umar dengan lafal تَنَاكَحُوْا تَكَاثَرُوْا فَإِنِّي أُبَاهِي بِكُمُ الأُمَمَ “Menikahlah dan beranak banyaklah kalian karena sesungguhnya aku berbangga dengan (jumlah) kalian”, dan dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dari hadits Abu Umamah dengan lafal تَزَوَّجُوْا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ وَلاَ تَكُوْنُوْا كَرُهْبَانِيَةِ النَّصَارَى “Menikahlah sesungguhnya aku memebanggakan (jumlah) kalian dihadapan umat-umat yang lain dan janganlah kalian seperti kerahiban orang-orang Nasrani…” (Fathul Bari 9/111). Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ no 1784